Kamis, 23 Januari 2014

sistem informasi psikologi

Sistem Informasi Psikologi

SISTEM INFORMASI 

A. PENGERTIAN SISTEM, INFORMASI DAN SISTEM INFORMASI 

1. SISTEM 
             Sistem merupakan kumpulan dari sub-sub sistem, elemen-elemen, prosedur-prosedur yang saling berinteraksi, berintegrasi untuk mencapai tujuan tertentu seperti informasi, target, dan tujuan lainnya. Secara sederhana sistem dapat diartikan sebagai suatu kumpulan atau himpunan dari unsur, komponen, atau variabel-variabel yang terorganisasi, saling berinteraksi, saling tergantung satu sama lain dan terpadu. Sistem bisa berupa abstraksi atau fisis (Gordon B. Davis, 2002). Sistem yang abstrak adalah susunan yang teratur dari gagasan-gagasan atau konsepsi yang saling tergantung. Sedangkan sistem yang bersifat fisis adalah serangkaian unsur yang bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan (Tata Sutabri, 2004). 

2. INFORMASI 
            Informasi merupakan data yang telah diolah menjadi suatu bentuk yang penting bagi pengguna dan mempunyai nilai yang nyata atau dapat dirasakan manfaatnya dalam keputusan-keputusan yang akan datang. Kualitas dari suatu informasi tergantung dari 3 (tiga) hal yaitu : a. Akurat (accurate) Informasi harus bebas dari kesalahan dan tidak boleh menyesatkan. Akurat juga berarti bahwa informasi harus jelas mencerminkan maksudnya. b. Tepat waktu (timelines) Informasi yang sampai pada penerima tidak boleh tertunda. Informasi yang sudah usang nilainya akan berkurang. Karena informasi merupakan landasan didalam pengambilan suatu keputusan. c. Relevan (relevance) Informasi tersebut mempunyai manfaat untuk penggunanya. Relevansi informasi untuk setiap orang, satu dan lainnya pasti berbeda. 

3. SISTEM INFORMASI 
             Sistem Informasi adalah data yang dikumpulkan, dikelompokkan dan diolah sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah satu kesatuan informasi yang saling terkait dan saling mendukung sehingga menjadi suatu informasi yang berharga bagi yang menerimanya. Dalam pengertian lainnya, Sistem Informasi merupakan kumpulan elemen yang saling berhubungan satu sama lain yang membentuk satu kesatuan untuk mengintegrasikan data, memproses dan menyimpan serta mendistribusikan informasi. Perkembangan Sistem Informasi meliputi Sistem Informasi Tradisional yaitu suatu sistem informasi yang dioperasikan dan dikelola secara semi-manual. SI beroperasi secara lambat sehingga pengambilan keputusan sering berdasarkan data asumsi/perkiraan. Suatu sistem informasi pada dasarnya terbentuk melalui suatu kelompok kegiatan operasi yang tetap, yaitu: mengumpulkan data, mengelompokkan data, menghitung, menganalisa dan menyajikan laporan. Manfaat adanya sistem informasi dalam suatu instansi yaitu: 

a. Menyajikan informasi guna mendukung pengambilan suatu keputusan. 
b. Menyajikan informasi guna mendukung operasi harian. 
c. Menyajikan informasi yang berkenaan dengan kepengurusan. 

B. ELEMEN DAN KOMPONEN SISTEM INFORMASI
 
1. Elemen Sistem Informasi Ada beberapa elemen yang membentuk sebuah sistem, yaitu : tujuan, masukan, proses, keluaran, batas, mekanisme pengendalian dan umpan balik serta lingkungan. Berikut penjelasan mengenai elemen-elemen yang membentuk sebuah sistem : 

a. Tujuan Setiap sistem memiliki tujuan (Goal), entah hanya satu atau mungkin banyak. Tujuan inilah yang menjadi pemotivasi yang mengarahkan sistem. Tanpa tujuan, sistem menjadi tak terarah dan tak terkendali. Tentu saja, tujuan antara satu sistem dengan sistem yang lain berbeda. 

b. Masukan Masukan (input) sistem adalah segala sesuatu yang masuk ke dalam sistem dan selanjutnya menjadi bahan yang diproses. Masukan dapat berupa hal-hal yang berwujud (tampak secara fisik) maupun yang tidak tampak. Contoh masukan yang berwujud adalah bahan mentah, sedangkan contoh yang tidak berwujud adalah informasi (misalnya permintaan jasa pelanggan). 

c. Proses Proses merupakan bagian yang melakukan perubahan atau transformasi dari masukan menjadi keluaran yang berguna dan lebih bernilai, misalnya berupa informasi dan produk, tetapi juga bisa berupa hal-hal yang tidak berguna, misalnya saja sisa pembuangan atau limbah. Pada pabrik kimia, proses dapat berupa bahan mentah. Pada rumah sakit, proses dapat berupa aktivitas pembedahan pasien. 

d. Keluaran Keluaran (output) merupakan hasil dari pemrosesan. Pada sistem informasi, keluaran bisa berupa suatu informasi, saran, cetakan laporan, dan sebagainya. 

e. Batas Yang disebut batas (boundary) sistem adalah pemisah antara sistem dan daerah di luar sistem (lingkungan). Batas sistem menentukan konfigurasi, ruang lingkup, atau kemampuan sistem. Sebagai contoh, tim sepakbola mempunyai aturan permainan dan keterbatasan kemampuan pemain. Pertumbuhan sebuah toko kelontong dipengaruhi oleh pembelian pelanggan, gerakan pesaing dan keterbatasan dana dari bank. Tentu saja batas sebuah sistem dapat dikurangi atau dimodifikasi sehingga akan mengubah perilaku sistem. Sebagai contoh, dengan menjual saham ke publik, sebuah perusahaan dapat mengurangi keterbasatan dana. 

f. Mekanisme Pengendalian dan Umpan Balik Mekanisme pengendalian (control mechanism) diwujudkan dengan menggunakan umpan balik (feedback), yang mencuplik keluaran. Umpan balik ini digunakan untuk mengendalikan baik masukan maupun proses. Tujuannya adalah untuk mengatur agar sistem berjalan sesuai dengan tujuan. 

g. Lingkungan Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada diluar sistem. Lingkungan bisa berpengaruh terhadap operasi sistem dalam arti bisa merugikan atau menguntungkan sistem itu sendiri. Lingkungan yang merugikan tentu saja harus ditahan dan dikendalikan supaya tidak mengganggu kelangsungan operasi sistem, sedangkan yang menguntungkan tetap harus terus dijaga, karena akan memacu terhadap kelangsungan hidup sistem. 

2. Komponen Sistem Informasi 

a. Orang (People) Semua pihak yang bertanggung jawab dalam hal penyokong atau sponsor sistem informasi (system owner), pengguna sistem (system users), perancang sistem (system designer) dan pengembang sistem informasi (sistem development). 

b. Prosedur Sekumpulan aturan atau tahapan-tahapan untuk membuat, memakai, memproses dan mengolah sistem informasi ataupun hasil keluaran dari sistem informasi tersebut. 

c. Basis Data Secara konseptual, data adalah deskripsi tentang benda, kejadian, aktivitas, dan transaksi yang tidak mempunyai makna dan tidak berpengaruh langsung secara langsung kepada pemakainya atau disebut juga sebagai sekumpulan fakta mentah dalam isolasi.

d. Perangkat Keras (hardware) Mencakup piranti-piranti fisik seperti komputer, printer, monitor, harddisk, DLL. 

e. Perangkat Lunak (sotfware) Sekumpulan instruksi-instruksi atau perintah-perintah yang memungkinkan perangkat keras bisa digunakan untuk memproses data, atau sering disebut sebagai program. 

f. Jaringan (network) Sistem penghubung yang memungkinkan suatu sumber dipakai secara bersama-sama, baik pada waktu dan tempat bersamaan ataupun berbeda 

C. ARSITEKTUR SISTEM INFORMASI 
             Sistem informasi dapat di bentuk sesuai kebutuhan organisasi masing-masing. Oleh karena itu, untuk dapat menerapkan sistem yang efektif dan efisien diperlukan perencanaan, pelaksanaan, pengaturan, dan evaluasi sesuai keinginan masing-masing organisasi. Guna dari sistem yang efektif dan efisien tidak lain untuk mendapatkan keunggulan dalam berkompetisi. Semua orang dapat menggunakan sistem informasi dalam organisasi, tetapi faktor efisiensi setiap sistem adalah berbeda. Perlu diketahui, perubahan sistem, baik besar maupun kecil, selalu akan melalui tingkatan-tingkatan sebagai berikut : 

Tingkat I : Ide, mengetahui perlu adanya perubahan. 
Tingkat II : Design, merancang cara pemecahannya. 
Tingkat III : Pelaksanaan, menerapkan design ke dalam sistem. 
Tingkat IV : Kontrol, memeriksa tingkat pelaksanaan dijalankan sesuai dengan design 
Tingkat V : Evaluasi, memeriksa apakah perubahan yang terjadi sesuai dengan tujuan semula. 
Tingkat VI : Tindak lanjut, melaksanakn perubahan sesuai dengan hasil evaluasi yang ada. Adapun tingkatan yang menjadi kunci yang digunakan untuk memecahkan bagian masalah baik itu secara menyeluruh maupun perbagian, yaitu:

D. KLASIFIKASI SISTEM INFORMASI Sistem informasi merupakan suatu bentuk integrasi antara satu komponen dengan komponen lain karena sistem memiliki sasaran yang berbeda untuk setiap kasus yang terjadi yang ada di dalam sistem tersebut. Oleh karena itu, sistem dapat di klasifikasikan dari beberapa sudut pandang, diantaranya: 
1. Sistem abstrak atau sistem fisik Sistem abstrak adalah sistem yang berupa pemikiran atau ide-ide yang tidak tampak secara fisik,misalnya sistem teologia, yaitu sistem yang berupa pemikiran hubungan antara manusia dengan Tuhan. Sistem fisik merupakan sistem secara fisik, misalnya sistem komputer. 
2. Sistem alamiah dan sistem buatan manusia Sistem alamiah adalah sistem yang terjadi melalui proses alam, tidak dibuat oleh manusia, misalnya sistem perputaran bumi. Sistem buatan manusia merupakan sistem yang melibatkan interaksi manusia dengan mesin, yang disebut human machine system. Sistem informasi berbasis internet merupakan contoh human machine system karena menyangkut penggunaan komputer yang berinteraksi dengan manusia. 
3. Sistem deterministik dan sistem probabilistic Sistem deterministik adalah sistem yang beroperasi dengan tingkah laku yang dapat diprediksi. Sistem probabilistik dalah sistem yang kondisi masa depannya tidak dapat diprediksi karena mengandung unsur probabilistik. 
4. Sistem terbuka dan sistem tertutup Sistem terbuka adalah sistem yang berhubungan dan di pengaruhi oleh lingkunagn luarnya. Sistem ini menerima masukan dan menghasilkan keluaran untuk subsistem lainnya. Sistem tertutup adalah sistem yang tidak terhubung dan tidak terpengaruh oleh lingkungan luarnya. Sistem ini bekerja secara otomatis tanpa campur tangan pihak luar. 

PSIKOLOGI KLINIS 

A. Definisi Psikologi Klinis Psikologi klinis merupakan bentuk psikologi terapan untuk menentukan kapasitas dan karakteristik tingkah laku individu dengan menggunakan metode-metode pengukuran assessment, analisa, dan observasi serta uji fisik dan riwayat sosial agar dapat diperoleh saran dan rekomendasi untuk membantu penyesuaian diri individu secara tepat (American Psychological Association : 1935 ). Witmer (1912) dikutip oleh Sutardjo menyatakan bahwa psikologi klinis adalah metode yang digunakan untuk mengubah atau mengembangkan jiwa seseorang berdasarkan hasil observasi dan eksperimen dengan menggunakan teknik penanganan pedagogis. Namun, Woodworth (1937) berkeberatan dengan definisi atau pengertian psikologi klinis yang dsampaikan Witmer ini. Menurutnya, jika pengertian psikologi klinis itu seperti yang dkemukakan Witmer, sebaiknya tidak dsebut psikologi klinis melainkan sebagai psikologi untuk member pelayanan yang bersifat personal atau sebagai alternative. Disamping itu Woodworth juga berpendapat bahwapsikologi klinis dimasa depan harus berusaha untuk memberikan bantuan kepada individual dalam menyalesaikan masalah seleksi untuk keperluan pendidikan dan pekerjaan, penyesuaian keluarga dan social, kondisi-kondisi kerja, dan aspek kehidupan lainnya. Yang sering menjadi pegangan dan acuan dasar dalam memahami pengertian psikologi klinis saat ini adalah definisi yang ditetapkan oleh American Psychological Association (APA) yang merumuskan psikologi klinis sebagai berikut : Psikologi Klinis adalah suatu wujud psikologi terapan yang bermaksud memahami kapasitas perilaku dan karakteristika individu yang dilaksanakan melalui metode pengukuran, analisis, serta pemberian saran dan rekomendasi. Agar individu mampu melakukan penyesuaian diri secara patut. 

B. Pendekatan Dalam Psikologi Klinis
a. Pendekatan psikodinamika 
b. Pendekatan Behavioral dan Kognitif-Behavioral 
c. Humanistik 

C. Pemusatan Perhatian dalam Psikologi Klinis Terdapat banyak kemungkinan sasaran atau target yang diusahakan dalam membuat asesmen klinis. Psikologi klinis dapat memusatkan perhatian terhadap : 
1. Disfungsi individual, memperhatikan abnormalitas atau kekurangan dalam aspek pikiran, emosi, atau tindakannya. Dalam kasus-kasus lain, bisa jadi mereka memusatkan perhatian untuk menemukan. 
2. Kekuatan klien, dalam hal kemampuan, keterampilan, atau sensitifitas yang menjadi target evaluasi dan melukiskan. 
3. Kepribadian subyek 

D. Intervensi Klinis Intervensi dalam rangka psikologi dan khususnya psikologi klinis adalah membantuklien atau pasien menyelesaikan masalah psikologis, terutama sisi emosionalnya. Kendall dan Norton Ford berpendapat bahwa intervensi klinis meliputi penggunaan prinsip-prinsip psikologi untuk menolong orang menangani masalah-masalah dan mengembangkan kehidupannya yang memuaskan. Psikolog klinis menggunakan pengetahuannya mengenai pemfungsian manusia dan system-sistem sosial dalam kombinasi dengan hasil asesmen klinis guna merumuskan cara untuk membantu perubahan klien ke arah yang lebih baik. Istilah intervensi khusus untuk psikologi adalah psikoterapi. Pada umumnya terapi menampilkan empat gambaran kegiatan, yaitu: 
a. Membangun hubungan murni antara terapis dan klien. 
b. Membantu klien melakukan eksplorasi diri dengan cara-cara psikologis. 
c. Terapis dan klien bekerja sama memecahkan masalah psikologis klien. 
d. Terapis dan klien bekerja sama memecahkan masalah psikologis klien. 

E. Assesment Klinis Dalam kamus Assesment diartikan sebagai menilai atau memahami. tetapi secara definisi assesment adalah proses mengumpulkan informasi yang nantinya akan dipakai sebagai dasar untuk mengambil keputusan oleh assesor atau hasil-hasil assesment itu akan dikomunikasikan atau disampaikan kepada yang berkepentingan. 

F. Proses assesment klinis Inti asesmen adalah mengumpulkan informasi yang akan digunakan untuk mengenali dan menyelesaikan masalah menjadi lebih efektif 1.Planning data collection procedures 
2.Collecting assesment data 
3.Data processing and hypothesis formation 
4.Communicating assesment data Diagnostic System : DSM-IV Teknik pengklasifikasian gangguan mental sudah dilakukan sejak tahun 1900-an. Sedangkan secara formal baru pada tahun 1952 ketika APA (American Psychiatric Association) menerbitkan sistem klasifikasi diagnostik yang pertama kali, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder. Sistem ini kemudian terkenal dengan nama DSM I dan berlaku hingga tahun 1968, ketika WHO mengeluarkan International Classification of Diseases (ICD). DSM I kemudian direvisi dan disamakan dengan ICD, kemudian terbit DSM II. DSM I dan II menyeragamkan terminologi untuk mendeskripsikan dan mendiagnosa perilaku abnormal, tetapi tidak menjelaskan tentang aturan sebagai pedoman dalam memutuskan suatu diagnostik. Di dalamnya tidak terdapat suatu kriteria yang jelas bagi tiap gangguan sehingga agak sulit untuk mengklasifikasikan diagnostik. Pada tahun 1980 DSM II mengalami perubahan menjadi DSM III yang diikuti pada tahun 1987 dengan edisi revisi sehingga namanya menjadi DSM III-R. Dalam DSM III ini, sudah terdapat suatu kriteria operasional untuk masing-masing label diagnostik. Kriteria ini meliputi simtom utama dan simtom spesifik serta durasi simtom muncul. Disini juga digunakan pendekatan multiaxial, dimana klien dideskripsikan ke dalam lima dimensi (axis), yaitu : 
a. Axis I :16 gangguan mental major 
b. Axis II :Berbagai problem perkembangan dan gangguan kepribadian 
c. Axis III :Gangguan fisik atau kondisi-kondisi yang mungkin berhubungan dengan gangguan mental 
d. Axis IV :Stressor psikososial (lingkungan) yang mungkin memberi kontribusi terhadap gangguan pada Axis I dan II 
e. Axis V :Rating terhadap fungsi psikologis, sosial dan pekerjaan dalam satu tahun terakhir. 

              DSM III-R pun kemudian dikritik karena beberapa kriteria diagnostiknya masih terlalu samar dan masih membuka peluang untuk muncul bias dalam penggunaannya. Dan Axis II, IV dan V mempunyai kekurangan dalam pengukurannya. Akhirnya pada tahun1988, APA membentuk tim untuk membuat DSM IV. Di dalamnya tetap menggunakan pendekatan multiaxial seperti pada DSM III-R dan Axis I hanya dapat di tegakkan jika terdapat jumlah kriteria minimum dari daftar simtom yang disebutkan. Pada DSM IV ini terdapat beberapa modifikasi dalam terminologi sebelumnya dan skema rating yang digunakan pada beberapa axis. Sekarang ini telah diterbitkan DSM IV-TR (Text Revised). Sampai saat ini DSM IV dan DSM IV-TR digunakan sebagai pedoman klinisi dan profesional terkait untuk menentukan diagnostik. Multiaxial DSM IV 
a. Axis I :Clinical Disorders, Other Conditions That May Be a Focus of Clinical Attentions 
b. Axis II : Personality Disorders, Mental Retardation 
c. Axis III : General Medical Conditions 
d. Axis IV : Psychosocial and Environtmental Problems 
e. Axis V : Global Assessment of Functioning (GAF) 

2. Deskripsi Para klinisi beranggapan bahwa untuk memahami content dari perilaku klien secara utuh maka harus mempertimbangkan juga tentang context sosial, budaya dan fisik klien. Hal itu menyebabkan asesmen diharapkan dapat mendeskripsikan kepribadian seseorang secara lebih utuh dengan melihat pada person-environtment interactions. Dalam fungsinya sebagai sarana untuk melakukan deskripsi terhadap kepribadian seseorang secara utuh, di dalam asesmen harus terdapat antara lain : motivasi klien, fungsi intrapsikis, respon terhadap tes, pengalaman subjektif, pola interaksi, kebutuhan (needs) dan perilaku. Dengan menggunakan pendekatan deskriptif tersebut memudahkan klinisi untuk mengukur perilaku pra treatment, merencanakan jenis treatment dan mengevaluasi perubahan perilaku pasca treatment. 

3. Prediksi Tujuan asesmen yang ketiga adalah untuk memprediksi perilaku seseorang. Misalnya klinisi diminta oleh perusahaan, kantor pemerintah atau militer untuk menyeleksi seseorang yang tepat bagi suatu posisi kerja tertentu. Dalam kasus tersebut, klinisi akan melakukan asesmen dengan mengumpulkan dan menguji data deskriptif yang kemudian digunakan sebagai dasar untuk melakukan prediksi dan seleksi. Klinisi kadang dihadapkan pada situasi untuk memprediksi hal-hal yang berbahaya, misalnya pertanyaan seperti “Apakah si A akan bunuh diri ?”, “Apakah si B tidak akan menyakiti orang lain setelah keluar dari RS?”. Pada saat itu klinisi harus menentukan jawaban “ya” atau “tidak”. Prediksi klinisi tentang “berbahaya” atau “tidak berbahaya” dapat dievaluasi dengan empat kemungkinan jawaban. a. True positive, jika prediksi klinisi berbahaya dan ternyata klien menunjukkan perilaku berbahaya. b. True negative, jika prediksi klinisi tidak berbahaya dan ternyata klien menunjukkan perilaku yang tidak berbahaya. c. False negative, jika prediksi klinisi tidak berbahaya tetapi klien menunjukkan perilaku berbahaya. d. False positive, jika prediksi klinisi berbahaya tetapi klien menunjukkan perilaku tidak berbahaya. 

4. Observasi Tujuan observasi adalah untuk mengetahui lebih jauh di luar apa yang dikatakan klien. Banyak yang mempertimbangkan bahwa observasi langsung mempunyai tingkat validitas yang tertinggi dalam asesmen. Hal itu berhubungan dengan kelebihan observasi antara lain: a. Observasi dilakukan secara langsung dan mempunyai kemampuan untuk menghindari permasalahan yang muncul selama interview dan tes seperti masalah memori, jenis respon, motivasi dan bisa situasional. b. Relevansinya terhadap perilaku yang menjadi topik utama. Misalnya perilaku agresif anak dapat diobservasi sebagaimana perilaku yang ditunjukkan dalam lingkungan bermain dimana masalah itu telah muncul. c. Observasi dapat mengases perilaku dalam konteks sosialnya. Misalnya untuk memahami seorang pasien yang kelihatan depresi setelah dikunjungi keluarganya, akan lebih bermakna dengan mengamati secara langsung daripada bertanya, “Apakah Anda pernah depresi?”. d. Dapat mendeskripsikan perilaku secara khusus dan detail. Misalnya untuk mengetahui tingkat gairah seksual seseorang dapat diobservasi dengan banyaknya cairan vagina yang keluar atau observasi melalui bantuan kamera. 

5. Life record Asesmen yang dilakukan melalui data-data yang dimiliki seseorang baik berupa ijazah sekolah, arsip pekerjaan, catatan medis, tabungan, buku harian, surat, album foto, catatan kepolisian, penghargaan, dsb. Banyak hal dapat dipelajari dari life record tersebut. Pendekatan ini tidak meminta klien untuk memberi respon yang lebih banyak seperti melalui interview, tes atau observasi. Selama proses ini, data dapat lebih terhindar dari distorsi memori, jenis respon, motivasi atau faktor situasional. Contohnya, klinisi ingin mendapatkan informasi tentang riwayat pendidikan klien. Data tentang transkrip nilai selama sekolah mungkin dapat lebih memberikan informasi yang akurat tentang hal itu daripada bertanya ,”Bagaimana saudara di sekolah?”. Buku harian yang ditulis selama periode kehidupan seseorang juga dapat memberikan informasi tentang perasaan, harapan, perilaku atau detail suatu situasi yang mana hal itu mungkin terdistorsi karena lupa selama interview. Dengan merangkum informasi yang di dapat tentang pikiran dan tingkah laku klien selama periode kehidupan yang panjang, life records memberikan suatu sarana bagi klinisi untuk memahami klien dengan lebih baik. Adapun bagan dari terbentuknya web psikologi klinis yang dibuat berdasarkan sistem informasi : bagan dari input : bagan dari proses : bagan output : 
Sumber: 
• Davis, B. G. (2002). Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. 
• Sutabri, T. (2004). Sistem Informasi Akuntansi. Yogyakarta: Andi Offset 
• PENS-ITS. “Dasar Sistem Informasi”. http://apr1l-si.comuf.com/arsitektur.php 
• Suhari, Ari. (2011). Komponen-komponen sistem informasi. diunduh tanggal Rabu, 26 Oktober 2011 dari http://arisuhari.blogspot.com/2011/10/komponen-komponen-sistem-informasi.html. http://natsirasnawi.blogspot.com http://beby2011.student.umm.ac.id http://fakhrurrozi.staff.gunadarma.ac.id

Senin, 06 Mei 2013

Cognitive Behavioral Therapy

Cognitive behavioral therapy

       Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan salah satu pendekatan psikoterapi yang paling banyak diterapkan dan telah terbukti efektif dalam mengtatasi berbagai gangguan, termasuk kecemasan dan depresi. Asumsi yang mendasari Cognitive Behavioral Therapy CBT, terutama untuk kasus depresi yaitu bahwa gangguan emosional berasal dari distorsi (penyimpangan) dalam berpikir. Perbaikan dalam keadaan emosi hanya dapat berlangsung lama kalau dicapai perubahan pola-pola berpikir selama proses terapi. Demikian pula pada pasien pola berpikir yang maladaptive (disfungsi kognitif) dan gangguan perilaku. Dengan memahami dan merubah pola tersebut, pasien diharapkan mampu melakukan perubahan cara berpikirnya dan mampu mengendalikan gejala gejala dari gangguan yang dialami.
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) berorientasi pada pemecahan masalah dengan terapi yang dipusatkan pada keadaan “disini dan sekarang”, yang memandang individu sebagai pengambil keputusan penting tentang tujuan atau masalah yang akan dipecahkan dalam proses terapi. Dengan cara tersebut, pasien sebagai mitra kerja terapis dalam mengatasi masalahnya dan dengan pemahaman yang memadai tentang teknik yang digunakan untuk mengatasi masalahnya.
     Aaron T. Beck (1964) mendefinisikan CBT sebagai pendekatan konseling yang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan konseli pada saat ini dengan cara melakukan restrukturisasi kognitif dan perilaku yang menyimpang. Pedekatan CBT didasarkan pada formulasi kognitif, keyakinan dan strategi perilaku yang mengganggu. Proses konseling didasarkan pada konseptualisasi atau pemahaman konseli atas keyakinan khusus dan pola perilaku konseli. Harapan dari CBT yaitu munculnya restrukturisasi kognitif yang menyimpang dan sistem kepercayaan untuk membawa perubahan emosi dan perilaku ke arah yang lebih baik.
       Matson & Ollendick (1988: 44) mengungkapkan definisi cognitive-behavior therapy yaitu pendekatan dengan sejumlah prosedur yang secara spesifik menggunakan kognisi sebagai bagian utama konseling. Fokus konseling yaitu persepsi, kepercayaan dan pikiran. Para ahli yang tergabung dalam National Association of Cognitive-Behavioral Therapists (NACBT), mengungkapkan bahwa definisi dari cognitive-behavior therapy yaitu suatu pendekatan psikoterapi yang menekankan peran yang penting berpikir bagaimana kita merasakan dan apa yang kita lakukan. (NACBT, 2007).

Tujuan utama dalam teknik Cognitive Behavioral Therapy (CBT) adalah :
  1. Membangkitkan pikiran pikiran negative/ berbahaya, dialog internal atau bicara sendiri (swelf-talk), dan interpretasi terhadap kejadian kejadian yang dialami. Pikiran pikiran negative tersebut muncul secara otomatis, sering diluar kesadarann pasien, apabila menghadapi situasi stress atau mengingat kejadian penting masa lalu. Distorsi kognitif tersebut perilaku maladaptive yang menambah berat masalahnya.
  2. Terapis bersama klien mengumpulkan bukti yang mendukung atau menyanggah interpretasi yang telah diambil. Oleh karena pikiran otomastis sering didasarkan atas kesalahan logika, maka program Cognitive Behavioral Therapy (CBT) diarahkan untuk membantu pasien mengenali dan mengubah distorsi kognitif. Pasien dilatih mengenali pikiranya, dan mendorong untuk menggunakan ketrampilan, menginterpretasikan secara lebih rasional terhadap struktur kognitif yang maladaptive.
  3. Menyusun desain eksperimen (pekerjaan Rumah) untuk menguji validitas interpretasi dan menjaring data tambahan unjtuk diskusi di dalam proses terapi
Dengan demikian Cognitive Behavioral Therapy CBT diharapkan berperan sebagai mekanisme proteksi agar kecemasan dan depresi tidak mengancam, karena pasien belajar mengatasi factor factor yang menyebabkan munculnya gangguan.
  sejarah perkembangan terapi perilaku

    Watson dkk selama 1920 melakukan pengkondisian (conditioning) dan pelepasan kondisi (deconditioning) pada rasa takut, merupakan cikal bakal terapi perilaku formal. Pada tahun 1927, Ivan Pavlov terkenal dengan percobaannya pada anjing dengan memakai suara bell untuk mengkondisikan anjing bahwa bell = makanan, yang kemudian dikenal juga sebagai Stimulus dan Respon.
        Terapi perilaku pertama kali ditemukan pada tahun 1953 dalam proyek penelitian oleh BF Skinner, Ogden Lindsley, dan Harry C. Salomo. Selain itu termasuk juga Wolpe Yusuf dan Hans Eysenck.
Secara umum, terapi perilaku berasal dari tiga Negara, yaitu Afrika Selatan (Wolpe), Amerika Serikat (Skinner), dan Inggris (Rachman dan Eysenck) yang masing-masing memiliki pendekatan berbeda dalam melihat masalah perilaku. Eysenck memandang masalah perilaku sebagai interaksi antara karakteristik kepribadian, lingkungan, dan perilaku.
        Skinner dkk. di Amerika Serikat menekankan pada operant conditioning yang menciptakan sebuah pendekatan fungsional untuk penilaian dan intervensi berfokus pada pengelolaan kontingensi seperti ekonomi dan aktivasi perilaku.

 Fokus Konseling 
          CBT merupakan konseling yang menitik beratkan pada restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan dirinya baik secara fisik maupun psikis dan lebih melihat ke masa depan dibanding masa lalu. Aspek kognitif dalam CBT antara lain mengubah cara berpikir, kepercayaan, sikap, asumsi, imajinasi dan memfasilitasi konseli belajar mengenali dan mengubah kesalahan dalam aspek kognitif. Sedangkan aspek behavioral dalam CBT yaitu mengubah hubungan yang salah antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan, belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, serta berpikir lebih jelas.
Prinsip – Prinsip Cognitive-Behavior Therapy (CBT)
      Walaupun konseling harus disesuaikan dengan karakteristik atau permasalahan konseli, tentunya konselor harus memahami prinsip-prinsip yang mendasari CBT. Pemahaman terhadap prinsip-prinsip ini diharapkan dapat mempermudah konselor dalam memahami konsep, strategi dalam merencanakan proses konseling dari setiap sesi, serta penerapan teknik-teknik CBT.

RATIONAL EMOTIVE THERAPY

RATIONAL EMOTIVE THERAPY

 http://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/3/3e/Albert_Ellis.jpg

Rational Emotive Therapy atau disebut dengan Terapi Emosi Rational merupakan cara pendekatan konseling pastoral untuk membantu konseli mengatasi masalah psikologis/emosional dengan mengubah cara pikir atau pandangan pribadi yang irasional tentang diri, manusia, lingkungan hidup dan wujud tertinggi.
Albert Ellis, Tokoh Rasional Emotif Terapi
Albert Ellis terkenal sebagai pemikir dan pencetus rasional emotif terapi, sebuah bentuk terapi yang populer dan banyak digunakan dalam proses konseling saat ini.
Albert Ellis dilahirkan pada tahun 1913 di Pittsburgh, Amerika Syarikat. Pada saat mencetuskan teorinya, dia mendapati bahwa teori psikoanalasis yang dipelopori oleh Freud tidak mendalam dan adalah satu bentuk pemulihan yang tidak saintifik. Pada awal tahun 1955, beliau telah menggabungkan terapi-terapi kemanusiaan, fisolofikal dan tingkah laku dan dikenali sebagai teori emosi-rasional (RET/ Rational Emotive Therapy). Semenjak itu beliau terkenal sebagai bapak kepada teori RET dan salah satu tokoh teori tingkah laku kognitif.
Pada masa kanak-kanak, Albert Ellis sering mengalami gangguan kesehatan. Bahkan dia pernah menjalani rawat inap untuk perawatan penyakit nefritis yang dideritanya sebanyak Sembilan kali.
Albert Ellis adalah orang yang mempunyai cita-cita yang tinggi untuk menjadi pakar dalam ilmu psikologi. Pada tahun 1947 hingga 1953 Ellis telah menjalankan kajian secara klasikal berasaskan psikoterapi. Hasil kajian mendapati bahwa terapi psikoanalisis tidak begitu menyeluruh dan tidak saintifik.
Konsep-Konsep Dasar dari Rasional Emotif Terapi
Pandangan pendekatan rasional emotif tentang kepribadian Albert Ellis, dapat dikaji dari konsep-konsep kunci teori Albert Ellis. Ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu Antecedent event (A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC.
1. Antecedent event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami atau memapar individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan antecendent event bagi seseorang.
2. Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan cara berpikir atau system keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan kerana itu menjadi prosuktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan ayau system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan keran itu tidak produktif.
3. Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.
Selain itu, Ellis juga menambahkan D dan E untuk rumus ABC ini. Seorang terapis harus melawan (dispute; D) keyakinan-keyakinan irasional itu agar kliennya bisa menikmati dampak-dampak (effects; E) psikologis positif dari keyakinan-keyakinan yang rasional.
Tujuan Konseling :
•Memperbaiki dan mengubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan klien yang irrasional menjadi rasional
•Menghilangkan gangguan emosional yang dapat merusak diri (benci, takut, rasa bersalah, cemas, dll)
•Melatih serta mendidik klien agar dapat menghadapi kenyataan hidup secara rasional dan membangkitkan rasa percaya diri.
Tahapan Konseling :
1.Menunjukkan pada klien bahwa dirinya tidak logis, membantu mereka memahami “bagaimana & mengapa”
2.Membantu klien agar menghindarkan diri dari ide-ide irrasional
3.Konselor berusaha “menantang” klien untuk mengembangkan filosofis kehidupan yang rasional dan menolak kehidupan yang irrasional & fiktif.
Teknik-teknik Konseling :
•Assertive training
•Sosiodrama
•Self-modelling
•Reinforcement(memberikan rewardpada perilaku rasional)
•Desensitisasi
•Relaxation
•Bibliografi
•dll
Hal-hal yang perlu diperhatikan :
•Konselor diharapkan dapat memberikan unconditional positive regards
•Terapi ini cocok diterapkan pada klien yang mengalami gangguan neurotik, problem psikosomatis, gangguan makan, ketidakmampuan dalam hubungan interpersonal
•Terapi ini tidak diberikan pada anak2 yang mengalami autis, gangguan mental gradebawah, skizofrenia

Senin, 15 April 2013

LOGOTERAPI

PENGERTIAN LOGOTERAPI

Logoterapi diperkenalkan oleh Viktor Frankl, seorang dokter ahli penyakit saraf dan jiwa (neuro-psikiater). Logoterapi berasal dari kata “logos” yang dalam bahasa Yunani berarti makna (meaning) dan juga rohani (spirituality), sedangkan terapi adalah penyembuhan atau pengobatan. Logoterapi secara umum dapat digambarkan sebagai corak psikologi/ psikiatri yang mengakui adanya dimensi kerohanian pada manusia di samping dimensi ragawi dan kejiwaan, serta beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk hidup bermakna (the will of meaning) merupakan motivasi utama manusia guna meraih taraf kehidupan bermakna (the meaningful life) yang didambakannya.
Ada tiga asas utama logoterapi yang menjadi inti dari terapi ini, yaitu:
  1. Hidup itu memiliki makna (arti) dalam setiap situasi, bahkan dalam penderitaan dan kepedihan sekalipun. Makna adalah sesuatu yang dirasakan penting, benar, berharga dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang dan layak dijadikan tujuan hidup.
  2. Setiap manusia memiliki kebebasan – yang hampir tidak terbatas – untuk menentukan sendiri makna hidupnya. Dari sini kita dapat memilih makna atas setiap peristiwa yang terjadi dalam diri kita, apakah itu makna positif atupun makna yang negatif. Makna positif ini lah yang dimaksud dengan hidup bermakna.
  3. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk mangambil sikap terhadap peristiwa tragis yang tidak dapat dielakkan lagi yang menimpa dirinya sendiri dan lingkungan sekitar.  Contoh yang jelas adalah seperti kisah Imam Ali diatas, ia jelas-jelas mendapatkan musibah yang tragis, tapi ia mampu memaknai apa yang terjadi secara positif sehingga walaupun dalam keadaan yang seperti itu Imam tetap bahagia.

Ajaran Logoterapi
Ketiga asas itu tercakup dalam ajaran logoterapi mengenai eksistensi manusia dan makna hidup sebagai berikut.
a.       Dalam setiap keadaan, termasuk dalam penderitaan sekalipun, kehidupan ini selalu mempunyai makna.
b.      Kehendak untuk hidup bermakna merupakan motivasi utama setiap orang.
c.       Dalam batas-batas tertentu manusia memiliki kebebasan dan tanggung jawab pribadi untuk memilih, menentukan dan memenuhi makna dan tujuan hidupnya.
d.      Hidup bermakna diperoleh dengan jalan merealisasikan tiga  nilai kehidupan, yaitu nilai-nilai kreatif (creative values), nilai-nilai penghayatan (eksperiental values) dan nilai-nilai bersikap (attitudinal values).

Tujuan Logoterapi

Tujuan dari logoterapi adalah agar setiap pribadi:
a.       memahami adanya potensi dan sumber daya rohaniah yang secara universal ada pada setiap orang terlepas dari ras, keyakinan dan agama yang dianutnya;
b.      menyadari bahwa sumber-sumber dan potensi itu sering ditekan, terhambat dan diabaikan bahkan terlupakan;
c.       memanfaatkan daya-daya tersebut untuk bangkit kembali dari penderitaan untuk mamp[u tegak kokoh menghadapi berbagai kendala, dan secara sadar mengembangkan diri untuk meraih kualitas hidup yang lebih bermakna.

Pandangan Logoterapi terhadap Manusia
a.       Menurut Frankl manusia merupakan kesatuan utuh dimensi ragawi, kejiwaan dan spiritual. Unitas bio-psiko-spiritual.
b.      Frankl menyatakan bahwa manusia memiliki dimensi spiritual yang terintegrasi dengan dimensi ragawai dan kejiwaan. Perlu dipahami bahwa sebutan “spirituality” dalam logoterapi tidak mengandung konotasi keagamaan karena dimens ini dimiliki manusia tanpa memandang ras, ideology, agama dan keyakinannya. Oleh karena itulah Frankl menggunakan istilah noetic sebagai padanan darispirituality, supaya tidak disalahpahami sebagai konsep agama.
c.       Dengan adanya dimensi noetic ini manusiamampu melakukan self-detachment, yakni dengan sadar mengambil jarak terhadap dirinya serta mampu meninjau dan menilai dirinya sendiri.
d.      Manusia adalah makhluk yang terbuka terhadap dunia luar serta senantiasa berinteraksi dengan sesama manusia dalam lingkungan sosial-budaya serta mampu mengolah lingkungan fisik di sekitarnya.

Logoterapi sebagai Teori Kepribadian
Kerangka pikir teori kepribadian model logoterapi dan dinamika kepribadiannya dapat digambarkan sebagai berikut:
Setiap orang selalu mendambakan kebahagiaan dalam hidupnya. Dalam pandangan logoterapi kebahagiaan itu tidak datang begitu saja, tetapi merupakan akibat sampingan dari keberhasilan seseorang memenuhi keinginannya untuk hidup bermakna (the will to meaning). Mereka yang berhasil memenuhinya akan mengalami hidup yang bermakna (meaningful life) dan ganjaran  (reward) dari hidup yang bermakna adalah kebahagiaan (happiness). Di lain pihak mereka yang tak berhasil memenuhi motivasi ini akan mengalami kekecewaan dan kehampaan hidup serta merasakan hidupnya tidak bermakna (meaningless). Selanjutnya akibat dari penghayatan hidup yang hampa dan tak bermakna yang berlarut-larut tidak teratasi dapat mengakibatkan gangguan neurosis (noogenik neurosis) mengembangkan karakter totaliter (totalitarianism) dan konformis (conformism).